Laman

Rabu, 21 Januari 2015

Angkat Derajat Jepa, “Pizza”-nya Orang Mandar

Orang Italia dan Amerika punya Pizza, orang Mandar juga, namanya Jepa atau Teles. Maskot makanan khas Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar) ini bentuknya menyerupai Pizza, berupa lingkaran dalam lembaran tipis. Warnanya putih kecokelatan dengan aroma singkong bakar dan bertekstur seperti roti.

Jepa, dulu  pernah menjadi  makanan pokok orang Mandar, pengganti nasi. Jepa terbuat dari singkong atau ubi kayu atau cassava (Inggris) atau Manihot esculenta  (latin) alias lame ayu (Mandar) yang memiliki sumber karbohidrat tinggi. 

Nelayan mandar yang berlayar mencari ikan, juga lebih memilih membawa Jepa sebagai pengganti nasi karena lebih mudah disajikan dan tidak mudah basi karena tidak memiliki kadar air (kering).

Cara membuat Jepa boleh dibilang gampang-gampang susah. Setelah singkong dikupas kulitnya lalu dihaluskan dengan cara  diparut. Parutannya itu lalu diperas.

Zaman dulu, proses pemerasan  tradisional ini membutuhkan serat pelepah kelapa yang lebar, namanya endeng-endeng atau a'diq-a'diq. Endeng-endeng diambil dari bagian pohon kelapa yang menyerupai selimut berpori yang membungkus kelopak-kelopak dahan kelapa. Ini berfungsi sebagai pembungkus sekaligus penyaring sehingga ketika ubi dalam proses pemerasan yang lolos hanya cairan perasan dan menyisakan ubi yang nyaris tak lagi memiliki kandungan air. 

Kini proses pemerasan ampas singkong menggunakan bungkusan karung, lalu diperas agar sari singkong keluar. Ampas parutan singkong itulah yang digunakan. Sementara air perasaannya dibuang. Hasil ayakannya kemudian dibuat menjadi adonan yang dicampur dengan parutan kelapa agar burih. Campuran kedua itulah yang menjadi bahan pembuat Jepa.

Adonan tersebut kemudian dituangkan ke dalam piring bulat yang terbuat dari tanah liat, masyarakat Mandar menyebutnya "panjepangang". 

Butuh dua panjepangang sebagai wadah dan satunya lagi sebagai penutup Jepa. Kedua piring itu diletakkan di atas tungku tanah liat untuk proses pemanggangan. 

Proses pemanggangannya sama seperti memanggang Kerak Telor di Jakarta dan Surabi di Jawa Barat.

Adonan singkong tersebut seperti dijepit agar matang bagian atas dan bawahnya.  Tak sampai 3 menit, seluruh sisi singkong terpanggang dengan sempurna. Jepa pun jadi, aroma seperti singkong dibakar pun tercium. Begitu menggoda untuk disantap.

Paling enak menyantap Jepa memang selagi masih hangat. Teman bersantapnya tumis sayur ataupun "Tui-Tuing Tapa" atau ikan terbang yang diasapi, yang juga menjadi ikon kuliner Mandar lainnya.

Selain seperti Pizza, Jepa juga mirip dengan Kerak Telor khas Betawi, Jakarta. Cara memasaknya pun nyaris serupa. Cuma bahan bakunya yang beda. Kerak Telor menggunakan beras, telor bebek atau ayam, dan bumbu serundeng.

Nasib Jepa dan Kerak Telor pun sama, yakni sama-sama tenar di kandangnya sendiri dan sama-sama kalah tenar dibanding Pizza-nya Italia dan Amerika.

Jepa yang pada awalnya merupakan makanan pokok masyarakat Mandar, belakangan citranya kian memudar, menjadi makanan kedua di daerah asalnya sendiri. 

Keberadaanya kian tergerus dengan kemunculan makanan lain yang tampil menawan dan praktis seperti Pizza Italia dan makanan fast food lainnya. Diperparah dengan budaya anak sekarang yang lebih membangga-banggakan kuliner asing ketimbang kuliner tradisional warisan leluhurnya sendiri.

Di daerah kelahirannya, Jepa memang masih ada kendati dari segi jumlah pembuatnya kalah dengan pembuat Kerak Telor Betawi. 

Beberapa orang menuturkan, Jepa muncul pada masa-masa daerah tersebut mengalami kekeringan hingga gagal panen atau paceklik

Sejumlah orang ketika itu dikabarkan kelaparan. Dari situlah ada ide membuat bahan makan pokok diluar nasi yakni Jepa.

Berdasarkan bahannya, Jepa terdiri dari beberapa jenis. Ada Jepa Katong yang terbuat dari katong atau sagu, Jepa Golla Mamea yang dicampur dengan gula merah atau gula aren, dan Jepa-Jepa yang memiliki ukuran lebih kecil.

Jepa-Jepa menjadi bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut. Teman bersantapnya gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda serta ikan hasil tangkapan.

Bersamaan lahirnya Provinsi Sulbar, 2004 silam, derajat Jepa kembali terangkat.  Apalagi ketika jalan poros Makassar (Ibukota Sulsel) – Mamuju (Ibukota Sulbar) berubah menjadi jalur alternatif trans-Sulawesi. Jepa pun perlahan  tampil dengan citra baru, bukan lagi sebagai makanan utama, melainkan sebagai komoditas penting wisata kuliner Sulbar. 

Untuk mengangkat derajat Jepa, perlu ada kreativitas, terutama dalam kemasan dan lauknya yang lebih variatif serta kekinian. Tak ada salahnya ada variasi Jepa dengan lauk ayam ataupun daging sapi cincang dan lainnya yang tentunya halal. 

Kalau Anda ke Sulbar, salah satu pembuat Jepa yang bisa Anda dapati di Kabupaten Majene, tepatnya di Desa Bonde, Kecamatan Pamboang. 

Di desa tersebut, Anda bisa melihat langsung proses pembuatan Jepa bahkan ikut membuat Jepa dengan seizin pembuatnya. Kita juga bisa membeli Jepa dengan harga Rp 2000 per lembar.

Selain di Desa Bonde, Anda bisa membeli Jepa di pasar tradisional yang berada di belakang Tempat Pelelangan Ikan Majene. Lokasi lainnya di pinggiran jalan poros, di Labuang, Somba, sekira 30 Km dari ibu kota kabupaten Majene. 

Jepa di tempat ini disajikan hangat-hangat, bersanding dengan ikan terbang panggang atau Banggulung Tapa, dalam Bahasa Mandar yang asapnya masih mengepul. Menggoda selera. Anda ingin mencicipinya? Berkunjunglah ke Sulbar.

Naskah & foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1.  Jepa komplit dengan aneka lauk. 
2.   Salah seorang pembuat Jepa di Desa  Bonde, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulbar. 
3.     Jepa-Jepa atau jenis Jepa ukuran kecil yang dikukus. 
4.     Jepa polos, tanpa lauk.

Selasa, 20 Januari 2015

Memburu Sejuta Sate ke Lokasinya Langsung

Sate termasuk salah satu kuliner khas Indonesia. Jenisnya beragam ada sate dari Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara. Bahan utamanya juga bermacam, ada daging ayam, sapi, kambing, kerbau, kuda, kelinci, biawak, ikan, dan juga kerang. Nama satenya juga beda. Olahan dan bumbunya juga tak sama. Yang jelas, masing-masing punya citra rasa khas dan tentunya menggoda selera. 

Menyebut aneka sate di negeri ini, jelas Sate Madura masuk deretan teratas sate yang amat tersohor. Sate khas pulau garam, Madura ini biasanya terbuat dari daging ayam dan kambing. 

Sate Madura mudah ditemukan hampir di semua kota besar di Tanah Air seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan lainnya. Bumbunya, campuran kacang yang ditumbuk halus petis dan sedikit bawang merah. Memanggangnya dengan arang batok kelapa.

Di Jakarta, ada Sate Madura yang ramai pengunjungnya antara lain Kedai Sate Khas Madura Haji Yanto di depan toko tekstil Mumbai, Pasar Mayestik,Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Masih di wilayah yang sama, ada Sate Ayam dan Kambing Pak Muri yang dikenal juga dengan sebutan Sate Pertamina atau Sate RSPP, maklum lokasinya berada di Jalan Kyai Maja, seberang RS Pertamina.

Diurutan kedua, diduduki Sate Padang. Salah satunya yang paling tenar Sate Mak Syukur (SMS) di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, tepatnya di Jalan Sutan Syahrir Silaing Bawah. Saking ngetop-nya, sampai Presiden SBY beserta ibu Ani pernah menyantapnya di tempat ini.

Kalau Anda mendaki Gunung Marapi ataupun Singgalang, sebaikya mampir ke SMS untuk menyempurnakan pendakian Anda di Sumbar.

Selain di Sumbar, Sate Padang Mak Syukur juga ada di Jakarta, antara lain di Pasar Santa, Jakarta Selatan, Pasar Tanah Abang Blok A lantai 8, Jakarta Pusat, Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan Blok M Square, Jakarta Selatan. Kalau Sate Madura atau kebanyakan sate lain bumbunya menggunakan kacang dan gula, beda dengan Sate Padang yang memakai bumbu kuah kuning kental yang gurih.

Sate Mak Syukur terbuat dari daging rusuk dan punuk sapi yang dimasak sampai empuk dengan kuah kuning kental dengan rasa yang tidak terlalu pedas. Ada juga Sate Mak Syukur yang terbuat dari usus, jantung, dan lidah sapi. Bagian atasnya ditaburi bawang goreng. Teman bersantapnya potongan ketupat bukan lontong sebagaimana Sate Madura.

Sate Maranggi merupakan Sate Khas Jawa barat. Ada yang menyebutnya berasal dari Purwakarta, ada juga yang mengklaim dari Cianjur. Sate satu ini terbuat dari daging kambing atau daging sapi. Yang membedakannya dengan sate lain, bumbunya dari kecap dicampur sambal cabai hijau ditambah sedikit cuka lahang atau cuka yang terbuat dari tebu dan dilengkapi dengan irisan bawang dan tomat segar. Semua itu membuahkan cita rasa paduan manis, asam, dan pedas. Biasanya sate ini dihidang dengan ketan bakar, sambal oncom atau nasi timbel.

Sate ini mudah ditemukan hampir di setiap sudut Purwakarta, antara lain Sate Maranggi Pak Jaya di Padasuka dan Situ Wanayasa yang berada di jalur wisata Purwakarta–Wanayasa–Jalan Cagak (Subang) – Bandung. Di Jakarta antara lain ada di Sate Maranggi Ibu Yayah dekat Kompleks LMK PLN Duren Tiga Jalan Laboratorium, Jakarta Timur.

Sepulang Anda memanjat tebing-tebing di Gunung Parang, jangan lewatkan mampir ke salah satu pedagang Sate Maranggi di Purwakarta.

Sate Bulayak khas Lombok, NTB terbuat dari daging sapi, ayam ataupun jeroaan yang dilumuri dengan bumbu khas Lombok. Bumbunya dari kacang tanah sangrai tumbuk yang direbus bersama santan serta beberapa bumbu dapur lainnya. Rasanya pedas dan gurih mirip seperti bumbu kari.

Yang membedakan, teman makannya bukan ketupat atu lontong melainkan bulayak, semacam lepet kalau di Jakarta, yakni lontong yang dikemas kecil memanjang dibungkus deng daun aren, nyiur ataupun daun enau yang dililit membentuk spiral, ketika membukanya akan bergerak memutar. Bulayak memiliki rasa yang gurih dan bertekstur lembut. Cara menikmati bulayak ini dengan cara dicocol pada bumbu sate yang tersedia.  

Pedagang Sate Bulayak mudah dijumpai di kawasan kuliner di sepanjang Jalan Cendana atau jalan ke arah Bandara Selaparang, bandara lama. Selain itu di daerah wisata Suranadi, Narmada, dan di sekitar Pantai Senggigi. 

Sepulang dari menuruni Gunung Rinjani, sempatkan waktu mampir di salah satu pedagang Sate Bulayak di Lombok. Kalau Anda menikmatinya di Pantai Senggigi, kelebihannya Anda bisa sambil menikmati pesona pantai landai berpasir halus serta pemandangan indah berikut sunset-nya.

Sate Karang di bekas pusat kerajaan Mataram, Kotagede, Yogyakarta. Antara lain di Lapangan Karang Kotagede, Jalan Nyi Pembayun Kotagede. Yang unik, sate ini dimakan dengan lontong berkuah sayur lodeh yang encer dan sambal kacang yang kental dan manis.

Sambalnya ada tiga macam, sambal kacang, sambal kecap, sambal kocor yang terbuat dari daun jeruk, garam, gula merah, bawang merah, dan ketumbar. Teman minumnya wedang ronde atau teh poci dengan gula batu yang juga mangkal di sekeliling lapangan. Harga seporsi berisi 10 tusuk sate ini Rp 20.000. Lontong sayurnya Rp 5.000.

Sate Klathak disebut juga Sate Bantul. Hampir di sepanjang Kota Bantul, Yogyakarta banyak warung makan Sate Klathak. Salah satunya di Jalan Imogiri Timur KM 10, Timur stadion Sultan Agung. Namanya Sate Klathak Pak Pong.

Di Pasar Jejeran, Bantul juga ada Sate Klathak Pak Bari. Keunikannya batang tusuknya yang terbuat dari jeruji sepeda, bukan bilahan bambu ataupun lidi. Sate ini juga disebut ‘Sate Uyah’ atau Sate Garam. Karena sate dari daging kambing ini hanya dibumbui garam. Ada pula yang ditambahkan bawang putih.

Meski bumbunya minimalis tapi rasanya makyus karena rasa daging kambingnya lebih mencuat di lidah, tidak banyak ditutupi rasa lain. Uniknya sekalipun miskin bumbu, tidak terasa hangus. Yang terasa justru gurih bercampur asin. Seporsi Sate Klatak Pak Bari berisi 2 tusuk sate. Setiap tusuk jeruji sepanjang 30 sentimeteran ini terdapat 6-7 potong daging.

Nah, kalau Anda mendaki gunung Merapi, jangan lupa mampir ke Kotagede untuk menikmati Sate Karang dan ke Bantul untuk mencicipi Sate Klathak.

Bawah Lima Bulan 
Sate Tegal, berbahan daging kambing atau domba muda yang dipotong-potong dadu. Adanya di Tegal, Salwi dan sekitarnya. Bumbunya dari bumbu sambal kecap yang terbuat dari kecap, cabe rawit, bawang merah, dan tomat.

Di daerah Guci, Lereng Gunung Slamet ada Sate Balibul singkatan dari bawah lima bulan. Artinya, kambing yang digunakan umurnya dibawah lima bulan yang masih sangat muda jadi daging empuk sekali. Biasanya teman bersantapnya dengan nasi putih dan minumannya teh poci dengan gula batu khas Tegal juga.

Penjual Sate Balibul ada tak jauh dari Objek Wisata Guci. Anda bisa menikmati sebelum atau sesudah menikmati objek tersebut. Atau setekah melakukan penndakian Gunung Slamet lewat Jalur Guci.

Sate Makassar, terbuat dari daging sapi atau daging kambing. Yang membedakannya bumbu dan kuahnya menggunakan kuah konro atau sop konro sebagai teman makan. Salah satu penjualnya di Resto Baji Minahasa, milik Daeng Jarung. Sate ini biasanya jadi sajian khusus lebaran bagi orang Makasar.

Sepulang dari Gunung Bawakaraeng ataupun Latimojong, luangkan waktu mampir ke pedagang Sate Makassar, nikmati sensasinya.

Sate Lilit dari Bali juga khas. Tusukannya menggunakan batang serai yang menambah sedap aromanya. Sate ini berbahan daging ikan laut yang dicincang halus dan dibumbui dan dililitkan ke batang serai. Sate ini sarat bumbu dan dicampur dengan parutan kelapa, rasanya gurih dengan aroma khas, yakni pedas, wangi, manis, dan gurih. Dan yang pasti sate ini sehat, karena terbuat dari ikan yann rendah lemak.

Di Bali sendiri, Sate Lilit mudah dijumpai di trotoar atau pinggiran jalan di Kota Denpasar. Salah satunya Sale Lilit ala Karangasem di pinggir Jalan Hayam Wuruk, di depan gang Jalan Drupadi, Denpasar. Selain itu Warung Merte Sari atau Warung Sate Lilit Pulau Bungin di Jalan Pulau Bungin, sekitar 300 meter setelah SPBU Pulau Bungin kalau dari arah Pulau Kawe - Simpang 6, Denpasar.

Usai mendaki Gunung Agung, jangan lupa mampir ke pedagang Sate Lilit, biar perjalanan Anda lebih sempurna selama di Pulau Para Dewa ini.

Di Jakarta Sate Lilit dapat dinikmati di Jalan Woltermonginsidi, seberang Pasar Swalayan Santa, Jaksel, di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakpust, di Le Seminyak, Pacific Place Sudirman Jalan Jend Sudirman, Jakpus, dan di Ajengan, Jala Panglima Polim I, Jaksel. Ada lagi di Warung Bali Jalan Lebak Bulus Raya, Jaksel serta Pura Aditya Jaya di Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun, Jaktim.

Sate Kerang Medan tepatnya Sate Kerang Istimewa Rahmat yang juga kerapdijadikan buah tangan oleh orang luar usai bertandang ke Medan. Tempatnya di Jalan PWS No.42, di sebelah Plaza Medan Fair Medan. Rasa satenya berbeda dengan sate kerang lainnya. Sate kerangnya tidak berpasir dengan bumbu resep tradisional sejak 1957.

Sate Kelinci, di daerah berudara sejuk, Batu Malang terdapat sejumlah penjual sate kelinci. Salah satunyanya Depot Sate Kelinci Batu yang berjarak sekitar 1 Km dari pusat Kota Wisata Batu, tepatnya di Jalan Patimura 106, Batu, Malang Utara. Paling enak menyantapnya pada malam hari, sambil menikm ati udara dingin khas Kota Batu.

Selain di Batu, Sate Kelinci juga dapat dinikmari di objek wisata Kaliurang Yogyakarta, Lembang, dan Sumedang.

Sate Biawak, sesuai namanya dari daging reptil biawak. Salah satu lokasi penjualnya ada di bantaran Sungai Cimanuk Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sate ini sangat digemari masyarakat pantau utara (Pantura), Kabupaten Indramayu. Daging satenya dipercaya dapat meningkatkan kebugaran dan vitalitas pria. Di tempat lain seperti di sepanjang Jalan Perjuangan arah Babelan, Bekasi juga ada yang menjualnya. Harga seporsinya Rp 25.000 berisi 10 tusuk.

Di Jakarta antara lain ada di Mangga Besar seberang RS Husada dan di Bandengan Utara, Jakarta Barat. Selain Sate Biawak, disini juga dijual sate ekstrim lainnya seperti Sate Buaya, Ular, dan Sate Monyet.

Sate Ikan Senapelan adalah sate ikan patin khas Pekanbaru, Riau. Sate ini pas dinikmati dengan bumbu yang sedikit pedas. Teman makannya potongan lotong dan acar ketimun. Tekstur daging ikan patin ini sangat lembut.

Sate Ikan Tenggiri Palembang, biarpun namanya sate tapi masakan ini tidak ditusuk seperti sate pada umumnya. Melainkan di bungkus dengan daun pisang bersama bahan dan bumbu yang lain kemudian dikukus. Anda bisa menikmatinya di tepian Sungai Musi, sambil melihat Jembatan Ampera.

Masih ada lagi ragam sate lainya seperti sate buah, sate usus, sate ampela hati, sate telur puyuh, sate ceker ayam, sate jeroan, sate bekicot, sate keong yang biasa di jual pedagang angkringan, antara lain Angkringan Lik Man di sebelah Utara Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Kalau tak suka daging, pilih saja Sate Jamur dan Sate Buah. Sate Jamur menjadi andalan menu  Dieng Kledung Pass Hotel & Resto di Wonosobo, Jawa Tengah. 

Menikmati sate jamur sini menawarkan sensasi mewah lantaran sambil menikmati pesona Gunung Sindoro tepat di belakang hotel ini.

Dengan keberagaman sate-nya, tak berlebihan rasanya kalau negeri ini berpredikat Negeri Sate. Bila Anda berkesempatan menikatinya di lokasinya langsung, jelas bakal membuahkan pengalaman berpetualang kuliner tak terlupakan.

Naskah & Foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1. Seporsi Sate Padang.
2. Sate Bulayak di Pantai Senggigi, Lombok, NTB.
3. Sate Balibul khas Guci, Tegal, Jateng.
4. Seporsi Sate Jamur khas Dieng Kledung Pass Hotel & Resto di Wososobo, Jateng. 

Kembali Menikmati Buton dalam Semangkuk Parende

Menyebut sop, pastinya yang terlintas dibenak adalah makanan berkuah bening berisi iga sapi atau daging kambing ataupun ayam dengan aneka sayur seperti wortel, kubis, buncis, dan potongan kentang. Tapi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sopnya berbahan utama ikan laut segar. Namanya Ikan Parende. Rasanya, alaaaaaamaaaaak...

Sewaktu Zaharaini (52), pemilik Warung Wangi-Wangi di Jalan Protokol, Kelurahan Saragi, Kecamatan Pasarwajo, Ibukota Kabupaten Buton menyuguhkan semangkuk  Ikan Parende di depanku, mataku kembali terbelalak. 

Padahal ini bukan kali pertama aku menikmati Ikan Parende. Tiga tahun lalu, pertama kali ke Buton, aku mengenal kuliner ini saat diajak Abdul Zainuddin Napa (ketika itu jabatannya Kadiskominfo). Dua tahun kemudian, dia (sudah menjadi Kadisbudpar Buton), mengajakku lagi untuk menyantap kuliner yang sama, di tempat yang sama.

Ajakannya, jelas saja tak ku tolak, karena sejak awal aku sudah jatuh cinta dengan Parende.  Pertama melihat semangkung Ikan Parende, indra penglihatanku langsung tergoda dengan warna kuahnya yang kekuningan, ditambah taburan irisan daun bawang dan bawang goreng yang mengambang di permukaan kuahnya, menutupi 3 potong ikan di dalamnya.

Sebelumnya, hidungku sudah tergoda lebih dulu dengan aroma khas yang membuat usus dan lambungku kontan meratap-ratap ingin segera diisi.

“Warna kuning itu berasal dari kunyit. Tapi yang saya pakai kunyit bubuk kering yang dipesan dari Kota Kendari, bukan kunyit asli. Soalnya kalau kunyit asli, baunya terlalu menyengat dan banyak pelanggan yang kurang suka,” jelas ibu beranak 4 mencoba membongkar rahasia dapurnya.

Tak sabar mencicipi rasanya, aku segera mengambil irisan jeruk nipis yang ditempatkan di piring kotak kecil berikut dengan beberapa cabai rawit merah yang warnanya tak kalah menggoda. Perasan air jeruk nipis ke kuah sop itu kian mencuatkan aroma khas. Dan ketika aku hirup kuahnya, alamak sensasi segar begitu terasa dengan gurih yang ringan.

“Selain kunyit bubuk kering, bumbunya cuma bawang merah, sereh, dan belimbing. Tidak pakai bumbu penyedap sama sekali,” aku Zaharaini yang sejak 2003 berdagang sop ikan ini.

Kini tinggal ikannya yang membuatku penasaran. Sewaktu aku santap, ternyata empuk dagingnya, mirip dengan ikan patin tapi tidak terlalu lembek. Apalagi saat menyantap bagian kepalanya, rasanya pingin nambah, nambah, dan nambah lagi.

“Ikan yang dipakai untu Parende ini Ikan Bubara. Saya beli langsung di tempat pelelangan ikan di Teluk Pasarwajo. Harganya bisa mencapai Rp 300ribu per ekor dengan ukuran panjang hampir 1 meter. Ada juga yang memakai ikan Kakap Merah,” jelas perempuan yang setiap hari menjual minimal 50 porsi Ikan Parende dengan harga Rp 25ribu per porsi ditambah sepiring nasi putih Rp 5.000 ini.

Pada kesempatan kedua, aku melongok dapur rumah makan ini. Zaharaini tengah memanggang ikan. Menurutnya, tak sulit membuat Ikan Parende. Prosesnya ikan dicuci dan dibersihkan sisiknya. Lalu ditiriskan hingga air cuciannya tak tersisa. Siapkan panci untuk memasak air. Setelah air mendidih, masukkan semua bumbunya yakni bawang merah, kunyit bubuk yang kering, jeruk nipis, belimbing, dan garam secukupnya.

“Kalau Ikan Parende buatan saya, bumbunya tidak ditumis sesuai resep masakan orang Buton dulu. Tapi sekarang banyak orang yang menumis terlebih dulu bumbunya. Saya tetap mempertahankan resep asli warisan leluhur,” akunya.

Setelah itu potongan ikan dimasukkan. Masak sekitar 15 menit. Kalau aromanya sudah tercium, itu tandanya sudah siap disajikan. “Paling enak disantap selagi hangat,” jelas Zaharaini yang juga menjual masakan khas Buton lain seperti Ayam Parende seharga Rp 30.000 per porsinya.

Tak ada 20 semenit, semangkuk Ikan Parende habis ku santap. Aku jadi teringat sop ikan khas Batam, Kepulauan Riau. Sekalipun sama-sama sop ikan tapi citra rasanya beda. Entah kenapa Sop Parende terasa lebih orisinil, kuat muatan lokalnya.

Semangkuk Ikan Parende yang baru selesai ku nikmati, seolah memberi gambaran kongkrit bahwa potensi perairan Buton kaya aneka jenis ikan konsumsi. Sampai hampir 80 persen warganya tinggal di pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan sekaligus petani. Bahkan sektor perikanan menjadi andalan kedua PAD Buton, dibawah pertambangan terutama aspal.

Tak heran kalau makanan tradisional masyarakatnya juga berbahan dasar ikan. Dan tak heran juga jika sampai ada anggapan, belum lengkap kunjungan ke Buton kalau belum menyantap Semangkung Ikan Parende-nya.

Naskah & Foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1, Seporsi Ikan Parende khas Buton.
2. Zaharaini, pemilik Warung Wangi-Wangi yang menyajikan Ikan Parende.
3. Seporsi Ikan Parende dan Ayam Parende.

Senin, 19 Januari 2015

Santap Sop Sumsum Langsa Ala Kanibal

Menyantap kuliner sebenarnya bukan asal menyantap. Kita bisa dilihat karakter makanannya dan sekaligus orang yang menyantapnya. Contohnya menyantap Sop Sumsum ini, lantaran berisi satu tangkai lutut Sapi berukuran besar, rasanya cocok banget menyantapnya ala kanibal.

Bertandang ke Tanah Rencong, Aceh, jangan cuma menyantap Mie dan Martabak Telur-nya atau Ayam Tangkap-nya. Coba juga Sop Sumsum Langsa berikut minuman Timun Kerok… Hmmmmmm dijamin bakal memanjakan usus-usus Anda.

Sop Sumsum Langsa berisi satu tangkai lutut Sapi berukuran besar. Sumsumnya masih berada di dalam tangkai tulangnya. Untuk menikmatinya dengan menggunakan sedotan plastik.

Meski namanya sumsum tapi masih banyak daging yang menempel di bagian bawah tangkai tulangnya. Untuk menikmatinya, bisa menggunakan pisau kecil yang disediakan pelayan. Bisa juga digigit langsung. Cara terakhir sensasinya beda…lebih kanibal hehe. Di dalam kuahnya juga ada beberapa potongan daging empuk yang begitu menggoda untuk segera disantap.

Kuah Sop Sumsum Langsa ini bertambah nikmat bila dicampur dengan sambal ijo dan tentu saja irisan jeruk nipis. Teman santapnya selain seporsi nasi putih, juga ada perkedel kentang dan sebungkus emping. Hmmmmmm.. bayangkan, semua itu perpaduan yang sulit ditolak sekalipun asam urat dan kolestrol mulai menyergap.

Buat penetralisir, tentu ada minuman yang cocok. Apalagi kalau bukan Timun Kerok yang berisi timun yang dikerok lalu diberi sirup putih khas Aceh ditambah air dan es. Rasanya segar… bikin ademmmm…

Untuk menikmati dua kuliner tersebut, kunjungi saja Rumah Makan Sop Sumsum Langsa di Jalan Pangeran Nyak Makam No 53, Lampinueng, Banda Aceh. Semangkung Sop Sumsum Langsa cuma Rp 40.000. Sedangkan segelas minuman Timun Kerok Rp 10.000.

Rumah makan milik H Lukmanul Hakim asli orang Aceh ini buka dari pukul 10 pagi sampai pukul 11 malam setiap hari. Cabangnya ada di Jalan Setiabudi, Kota Medan, Sumut.

Sejumlah artis pernah singgah di rumah makan ini, antara lain rombongan band Dwiki Darmawan dengan Ita Purnamasari.

Sewaktu kokirimba bertandang ke rumah makan ini, ditemani rekan dari TV swasta Nasional. Sebut saja Alan yang memiliki karakter wajah yang kuat, dengan tulang-tulang pipi yang keras.

Sewaktu melihat dia menyantap seporsi Sop Sumsum ini dengan mimik standar, entah kokirimba merasa biasa saja, tak keluar karakternya. Akhirnya kokirimba menyuruhnya melahap sop sumsum itu ber-acting seperti orang purba yang tengah menyantap daging manusia atau kanibal. Pertama Alan merasa sungkan. Tapi setelah dikasih tahu, dia mau mencobanya berkali-kali. Hasilnya seperti terlihat di gambar ini. “Ah bang Adji, bisa aja. Saya jadi kanibal banget,” ujarnya dengan mimik senang campur tak percaya.

Itulah yang kokirimba maksud, menyantap makanan harus sesuai karakter makanan itu, termasuk menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat biar lebih menyatu. 

Kalau misalnya masyarakat setempat menyantapnya dengan tangan, ya ikuti saja. Sekali-sekali tidak masalah. Atau menyantapnya dengan wadah tempurung dan lainnya, sok dicoba juga agar lebih terasa atmosfirnya.

Naskah & Foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1. Menyantan sop sumsum langsa ala kanibal
2. Seporsi sop sumsum langsa
3. Timun Kerok pendamping yang cocok usai melahap sop sumsum.


Kamis, 15 Januari 2015

Rujak Aceh Plus Rumbia, Bikin Ngileerrr...

Kuliner Aceh bukan cuma Mie Aceh dan Ayam Tangkap. Provinsi yang namanya kian mendunia pasca dilanda gempa dan tsunami dasyat 2014 silam itu juga punya makanan tradional rujak yang disebut Lincah. Rujaknya berisi aneka buah dengan siraman bumbu sambal gula merah yang kental berasa asam, pedas, dan manis ini serta parutan buah lokal yang disebut Rumbia. Hmmm.., dijamin bikin segeeerrr.., dan ngileerrrr...

Rujak merupakan makanan tradisional yang terbuat dari bermacam buah dan atau sayur dan dibubuhi bumbu atau kuah. Dari sekian jenis rujak, rujak Aceh boleh dibilang memiliki citra rasa dan ciri khas tersendiri. Wajar jika kemudian rujak ini membuah bibir hingga melebar dari asalnya di Tanah Rencong ke berbagai kota besar di Indonesia seperti Medan dan Jakarta. 

Di tempat asalnya, yakni Aceh, rujak Aceh mudah sekali ditemui. Di seputaran Banda Aceh, terutama di warung atau rumah makan banyak yang menjualnya. Di antaranya di ruas jalan Kota Banda Aceh, tepatnya di Jalan Masjid Raya dan Jalan Cik Ditiro. 

Tempat lainnya ada di daerah Ulee Kareng, Banda Aceh yang sudah ada sejak dulu. Di resto ini, pembelinya bukan cuma warga lokal pun wisatawan Nusantara dan mancanegara, terutama wisatawan ASEAN dan Jepang. Pilihan lain, rujak Aceh Garuda, masih di Banda Aceh.

Di luar Banda Aceh, antara lain di warung rujak Blang Bintang, sekitar 500 meter sebelum pintu gerbang Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda.

Lokasi yang agak jauh, di Lhokseumawe, tepatnya di tepian Pantai Ujong Blang. Di sana adajamboe atau pondok yang menjual rujak Aceh. Pemiliknya bernama Irawati Hamzah (40).

Di Sigli, Ibukota Kabupaten Pidie ada beberapa warga setempat yang menjual rujak Aceh, salah satunya Erita (50) yang berjualan di Taman Siliwangi yang diteduhi pepohonan cemara laut, tak jauh dari bineh laot (pinggir laut) Kota Sigli.

Ibu lima anak yang sudah 29 tahun berjualan rujak Aceh ini, tiap hari berjualan di sini dari pukul 10 pagi hingga 4 sore. Dia dibantu Karsa, anak laki-laki bungsunya yang masih duduk di bangku SMP.

Per harinya, minimal dia mengantongi uang Rp 100.000 dari penjulan rujak. Dari hasil menjual rujak, Erita mengaku mampu menyekolahkan salah satu anaknya hingga menjadi polisi yang kini bertugas di Polsek Kota Sigli.

Makan rujak buatan Erita di taman itu terasa menghadirkan atmosfir yang beda. 

Soalnya sekitar 15 meter dari tempatnya berjualan, berdiri bangunan Museum Peringatan Korban Gempa dan Tsunami yang memuat daftar nama-nama masyarakat Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya yang meninggal dunia akibat bencana dan tsunami dasyat, 24 Desember 2004 tahun silam itu. Dan salah satu korbannya, Syafna, buah hati Erita.

Lincah atau rujak Aceh sudah menjadi makanan tradisional masyarakat Aceh dari dulu. Camilan ini nikmat dimakan pada siang hari yang terik.

Rujak yang satu ini berisi campuran irisan buah-buahan seperti nenas, timun, mangga, kedondong, pepaya, bangkuang, dan pisang batu yang masih mentah ini, diaduk dengan gula aren atau gula jawa yang sudah diulek di atas cobek batu bersama cabe rawit dan garam

Yang membuat rujak Aceh berbeda, adanya rumbia, buah khas Aceh semacam salak atau disebut juga Salak Aceh, yang daunnya digunakan untuk membuat atap rumah ini. Buah ini diserut bersama buah-buahan lainnya.

Rujak Aceh tak hanya ada di Tanah Reuncong. Rujak ini juga sudah menyebar ke Kota Medan bahkan Jakarta. Di Medan antara lain di Warung ini berada di Kelurahan Sei Putih Timur, Kecamatan Medan Petisa. Nama rujaknya dikenal dengan Rujak Aceh Samanga.

Di Jakarta, rujak Aceh dijual dibeberapa tempat antara lain di food court Eat & Eat Kelapa Gading 5, Jakarta Utara. Tempat lainnya di Waroeng Jaly-Jaly di Blok M Mall, Jakarta Selatan, dan Kedai Mie Aceh Bang Jali di food court ITC Ambasador, Kuningan, Jakarta Selatan. Di pingiran Jakarta, tepatnya di Depok, ada di ITC Depok Jalan Margonda Raya.

Harga seporsi rujak Aceh di negeri asalnya bervariasi dari Rp 5.000 sampai dengan Rp 9.000. Sementara Berkisar antara Rp 8.000 hingga Rp 10.000. Sedangkan di Jakarta dan Depok, harga seporsinya sudah naik pangkat, berkisar antara Rp 10.000 s/d Rp 15.000.

Kalau Anda bertandang ke Aceh untuk urusan tugas, liburan, dan lainnya, jangan lupa cicipi Lincah-nya. Kuliner khas lain yang juga patut Anda coba tentu saja Mie Aceh, Ayam Tangkap, Sate Matang, Bubur Kanji Rumbi, Martabak Telur Aceh, Kue Thimpan, dan Kopi Aceh.

Naskah & foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)


Captions:
1. Rujak Aceh di Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh.
2. Suasana tempat Erita menjual Rujak Aceh di dekat Pantai Sigli. Aceh.
3. Mie Aceh dan segelas Sanger atau kopi susu khas Aceh.