“Mas Adji ayo Babacakan
di sini bareng-bareng,” begitu ajak Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya bersama
suami tercinta di sebelah kanannya. “Ayo mas Adji disini aja, saya juga
kebanyakan nih,” ajak Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwiata Nusantara,
Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Esthy Reko Astuti yang duduk di sebelah kiri Bupati
Lebak.
Terus terang sebenarnya
saya sudah kepingin sekali Babacakan (makan bersama) dengan mereka, apalagi di
momen spesial dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017, ditambah dengan aneka lauknya
yang menggugah selera.
Ada ikan asin, tempe dan tahu
goreng, ayam goreng, mie goreng, cah kangkung, kerupuk, dan aneka lalapan
seperti daun salada, kacang panjang, mentimun, dan pete serta sambal. “Ayam gorengnya
ayam kampung lho mas Adji,” ucap Iti.
Namun dari semua lauk
itu, entah kenapa matanya saya justru terus melirik pete dan ikan asin. “Pete
khas Lebak ini rada manis Mas Adji, cobain aja,” ujar Iti lagi.
Mendengar penjelasan Iti,
terus terang selera makan saya semakin bergejolak. Jujur saja, sejak dulu pete memang
menjadi salah satu dewa penyelamat selera makan saya selain ikan asin dan
jengkol.
Ajakan Iti dan Esthy
ditambah aneka menu Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) yang berjumlah sekitar 2.000
orang di halaman depan Pendopo Bupati Lebak, Kota Rangkasbitung, Lebak, Banten,
Jumat (28/4) malam, membuat saya galau.
Di satu benar-benar ingin
langsung makan bersama orang nomor satu di Lebak itu ditambah dengan Deputi
Esthy. Tapi di sisi lain, peristiwa orang-orang penting itu ikut Babacakan
merupakan momen spesial yang sayang kalau tidak diabadikan.
Akhirnya saya memutuskan
untuk mengabadikan mereka terlebih dulu dan juga ribuan urang Kanekes yang
duduk rapih beralas terpal biru sambil menyantap Nasi Bungkus berisi nasi, ayam
goreng, dan aneka lauk lainnya.
Selepas tuntas
mengabadikan semuanya, saya pun memilih tempat untuk bersantap Babacakan itu.
Nasi dan semua lauknya ditaruh
di atas jajaran daun pisang yang terlebih dulu sudah dibersihkan.
Lauk yang pertama yang
saya sikat justru pete-nya, sampai Sony, Event Organizer (EO) heran. “Wah Mas
Adji pete-nya dulu yang dimakan, bukan nasinya haha,” ujar Sony sambil tertawa.
Itu sengaja saya lakukan
karena penasaran ingin membuktikan perkataan Iti. Ternyata benar pete-nya walau
sudah tua tapi tetap berasa agak manis dan segar, sepertinya baru dipetik dari
pohonnya.
Soalnya kalau saya makan
nasi dan lauk lainnya baru kemudian pete-nya, takut rasa khas pete-nya
tercampur.
Apalagi saat saya santap
nasinya, ternyata bukan nasi putih biasa melainkan Nasi Liwet sejenis Nasi Uduk
khas Betawi kalau di Jakarta. Heemmm.., nikmatnya luar biasa.
Meskipun aneka lauk khas
Sunda dalam Babacakan bersama dengan ribuan orang Baduy malam itu begitu sederhana
namun karena penyajiannya tidak biasa ditambah momennya langka, setahun sekali,
entah kenapa rasa nikmatnya jadi berlipat-lipat.
Babacakan Jeung Urang
Kanekes boleh dibilang menjadi salah satu mata acara andalan Seba Baduy yang
digelar setiap tahun setelah masyarakat Baduy melaksanakan puasa 3 bulan atau Kawalu.
Daya tarik Babacakan
begitu kuat, tak heran sejumlah awak media berebut mengabadikannya. Sejumlah
wisatawan yang hadir pun tak mau ketinggalan turut memotret special moment tersebut dan kemudian turut
makan bersama.
Lalu berapa biaya yang
dikeluarkan Pemeritah Kabupaten (Pemkab) Lebak untuk menyiapkan Babacakan tersebut
termasuk nasi bungkus untuk rombongan orang Baduy yang berjumlah sekitar 2.000
orang?
Berdasarkan kalkulasi Koki Rimba
secara kasar, kalau saja nasi bungkus itu dihargai Rp 15.000 per bungkus,
tinggal dikali 2.000 bungkus saja sudah Rp 30 juta, belum lagi air mineral
serta Nasi Liwet dan aneka lauk yang ditempatkan di atas daun pisang.
Kemudian untuk sarapan
esok paginya, sebelum pelepasan warga Baduy melanjutkan Seba Baduy berjalan
kaki menuju Kabupaten Pandeglang. Jika ditotalkan untuk konsumsi (makan dan
minum) saja, mungkin Pemkab Lebak harus mengucurkan anggaran sekitar Rp 100
juta.
Besar kecilnya dana itu
tentu tak sebanding dengan jerih payah urang Kanekes yang sudah rela mengeluarkan
tenaga dan waktu untuk berjalan puluhan bahkan ratusan kilometer dari kampung-kampungnya
di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak serta memberikan hasil
buminya seperti pisang tanduk, padi, gula aren, talas, dan lainnya untuk
diserahkan ke Pemkab Lebak.
Hal yang sama pun mereka lakukan untuk Pemkab Pandeglang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.
Hal yang sama pun mereka lakukan untuk Pemkab Pandeglang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.
Apa yang diupayakan urang
Kanekes itu, tentu saja jauh lebih besar dan berat.
Lewat Seba Baduy mereka bahkan
telah membuat nama Lebak, Pandeglang, dan Banten ikut terangkat ke tingkat
nasional bahlan dunia karena diliput media massa yang semakin banyak jumlahnya
dan juga pemuatan di media sosial (medsos).
Berdasarkan pengamatan langsung
acara Babacakan Jeung Urang Kanekes dalam rangkaian Pesona Seba Baduy 2017 yang
juga didukung Kemenpar, lewat Bidang Promosi Wisata Budaya, Deputi Bidang
Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, berjalan lancar dan berkesan.
Namun Koki Rimba menyarankan agar tahun
depan saat Babacakan berlangsung sebaiknya ada perwakilan dari Baduy Dalam
(Tangtu) dan Baduy Luar (Panamping) terutama para jaro, puun, dan tokoh
masyarakat dari masing-masing kampungnya untuk ikut makan bersama dengan Bupati
Lebak dan tamu undangan dengan Nasi Liwet dan aneka lauk khas Sunda yang
ditempatkan di atas daun pisang.
Bila itu terwujud, tentu
Babacakan itu akan membuahkan suasana yang lebih akrab, mengesankan, dan lebih
menarik.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com,
ig: @adjitropis)