Wisata kuliner boleh
dibilang nggak ada matinya. Digabung dengan jenis wisata apapun, tetap
nyambung. Kuliner seakan ditakdirkan menjadi salah satu pemikat utama sebuah
destinasi.
Itulah sebabnya setiap
meliput beragam jenis wisata, selalu ada waktu untuk berwisata kuliner.
Contohnya baru-baru ini, disela-sela mengikuti culture event Seba Baduy 2017, Koki Rimba menyempatkan diri menjelajahi beragam citra rasa tak terhitung di Kota
Rangkasbitung.
Selepas mengikuti prosesi
inti Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak di dekat Alun-Alun Rangkasbitung,
Lebak, Banten, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara,
Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Esthy Reko Astuti ingin minum yang dingin-dingin.
Bisa jadi dia masih kehausan
karena sebelumnya mengikut Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) bersama Bupati Lebak
Iti Octavia Jayabaya di halaman Pendopo dengan menu Nasi Liwet dan beragam lauk
khas Sunda seperti ikan asin, ayam kampung goreng, cah kangkung dan beragam
lalapan seperti ketimun, kacang panjang, daun salada, dan pete serta sambal
tomat goreng yang semuanya ditaruh di atas deretan daun pisang hingga menggoda
selera.
Gayung bersambut, salah seorang
panitia Seba Baduy 2017 dari Pemkab Lebak memberi rekomendasi resto untuk
mewujudkan keinginan Esthy.
Didampingi Kepala Bidang
Promosi Wisata Budaya Kemenpar Wawan Gunawan, berangkatlah kami ke resto sesuai
petunjuk panitia tersebut.
Namanya Kemuning Resto, sesuai
dengan tulisan yang terpampang di tembok depan resto tersebut, yang berada di
Jalan Sunan Bonang No.10, sekitar 1 Km dari Alun-Alun Rangkasbitung.
Di halaman depannya diteduhi Pohon Mangga yang daunnya cukup rindang dan sedang berbuah.
Melihat bangunan restonya
seperti rumah bekas orang Belanda jadoel atau jaman doeloe.
Itu bisa jadi, karena
sejarah Rangkasbitung tak lepas dari
sejarah perjuangan Multatuli alias “Eduard Douwes Dekker”, yaitu tokoh Belanda
yang kabarnya pernah berjuang memerdekakan masyarakat Kabupaten Lebak dari kesengsaraan
akibat dijajah.
Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang artinya “banyak
yang sudah aku derita” yang terkenal dengan karangan bukunya yang berjudul Max
Havelar.
Dari situlah nama Multatuli kemudian menjadi ikon Kota Rangkasbitung dan
diabadikan untuk nama alun-alun dan jalan utama, bahkan untuk nama museum yang
baru diresmikan tahun lalu.
Meski tak luas, resto yang berada di tepi jalan raya ini punya halaman
parkir yang mungkin cuma mampu menampung 5 mobil di bagian samping kiri.
Sedangkan bagian samping kanannya terdapat payung-payung tenda lengkap dengan
meja dan kursi.
Di serambi depan ada dua meja dan beberapa kursi. Begitupun di bagian
tengah yang merangkap dapur terbuka di belakangnya, dan ruangan sisi kiri yang juga
merangkap kasir.
Lantaran haus dan ingin minum yang dingin-dingin, Esthy memesan Es
Kemuning, semacam es campur yang berisi aneka buah seperti alpukat, kelapa, dan
lainnya.
Lain lagi dengan Wawan. Lantaran tidak sempat ikut Babacakan (makan malam
bersama dengan orang Baduy) karena mobilnya sempat mengalami kendala usai
mengikut acara di Pandeglang, dia memesan menu makan malam Nasi Goreng dan Cumi
Kuah Asam Manis.
Selain Es Kemuning yang menjadi salah satu menu andalan resto ini, masih ada
beberapa jenis minuman lainnya.
Koki Rimba sendiri memesan Hot Nescafe dan Jus Alpukat serta Pisang bakar.
Sementara Sony, Even Organizer (EO) yang mengurus dukungan Kemenpar dalam
Seba Baduy 2017 ini, memilih Es Kemuning dan Pisang Goreng.
Hadi, asisten Wawan memesan Hot Nescafe serta Bakwan Udang. Sedangkan Rijal,
Stafnya Wawan memilih Lemon Squash dan Pempek, sementara Robi stafnya Sony
memesan Roti Bakar dan Hot Black Kupu-Kupu yang juga menjadi salah satu minuman andalan
resto ini.
Setelah Koki Rimba cicipi semua jenis minuman dan makanan itu, boleh
dibilang serba enak dan pantas untuk direkomendasikan ke publik.
Harganya pun masuk akal alias terjangkau. Segelas Es Kemuning misalnya cuma
Rp 14 ribu, Hot Nescafe Rp 8 ribu, Lemon Squash Rp 10 ribu, Hot Black Kupu-Kupu
Rp 5 ribu.
Begitu pun aneka camilannya, Pempek Rp 15 ribu, Bakwan Udang seporsi isi 3
potong Rp 10 ribu, Roti Bakar Rp 10 ribu, dan Pisang Bakar/Goreng masing-masing Rp
12 ribu.
Tak sulit menjangkau resto ini. Pengunjung yang datang dari Jakarta bisa
naik kereta api commuter line dari Stasiun Tanah Abang, Palmerah, ataupun Stasiun Kebayoran
Lama ke Stasiun Rangkasbitung selama sekitar 2,5 jam. Kemudian
tinggal naik becak dari depan stasiun.
Saking asyiknya nyantai, ngobrol, ngudut, dan ngemil di Kemuning Resto, tak terasa sudah
hampir jam 12 malam.
Padahal resto milik Isty Desrina ini tutup pukul 10 malam, sedangkan bukanya pukul 10 pagi setiap hari.
Kami pun kembali ke Hotel Bumi Katineung di Jalan Multatuli, tempat kami menginap yang jaraknya sekitar
300 meter dari resto tersebut.
Esok paginya selepas Nyabu jo alias Nyarapan Bubur Kacang Ijo di hotel yang
kabarnya terbaik di Rangkasbitung itu, Koki Rimba melanjutkan jelajah kuliner
di seputaran Kota Rangkasbitung sebelum bertolak ke Pandeglang dan Kota Serang
mengikuti rangkaian Seba Baduy 2017 berikutnya.
Ada beberapa tempat kuliner
Kota Rangkasbitung yang Koki Rimba sambangi dengan becak, namun tidak semua
dicicipi makanannya.
Di antaranya Mie Sadis
Pedas di Jalan R.A Kartini No.12, Nasi Uduk Bolo2 Mamah Anna di Kampung Leuwiranji
Jalan Sunan Kalijaga, Martabak Malabar di Jalan Stasiun (Jalan
Sunan Kalijaga), Warung Nasi Ka Oyo juga di Jalan Sunan Kalijaga, Mie Ayam Kangkung Keriting Awi di Jalan Multatuli
No 45, dan Rumah Makan Ramayana juga di Jalan Multatuli.
Lanjut ke
Warung Sate Ojolali I (Maman) di Jalan Empang (Jalan RT. Hardiwinangun), Juice
Alun-Alun Rangkasbitung, dan Soto Tangkar juga di Alun-Alun Rangkasbitung, serta
Gado-Gado Sunan Bonang Jalan Sunan Bonang.
Selain
di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, sentra kuliner Kota Rangkasbitung juga ada di
Balong
Ranca Lentah atau Situ Balong (empang/kolam), tak jauh dari Alun-Alun, tepatnya di
Jalan RT Hardiwanungun.
Sayangnya saat
menjelajahi tempat-tempat bersantap itu, Koki Rimba tak menemukan Kue Jojorong, kue khas Rangkasbitung yang terbuat dari tepung sanji, tepung beras, dan gula merah yang di bungkus daun pisang.
Mungkin harus balik ke
Rangkasbitung lagi alias bersambung. Dan sepertinya memang harus, karena wisata kuliner itu Ibukota Kabupaten Lebak ini pun never
ending.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com,
ig: @adjitropis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar