Laman

Senin, 01 Mei 2017

Menjelajahi Ragam Cita Rasa Tak Terhitung di Rangkasbitung


Wisata kuliner boleh dibilang nggak ada matinya. Digabung dengan jenis wisata apapun, tetap nyambung. Kuliner seakan ditakdirkan menjadi salah satu pemikat utama sebuah destinasi.

Itulah sebabnya setiap meliput beragam jenis wisata, selalu ada waktu untuk berwisata kuliner. Contohnya baru-baru ini, disela-sela mengikuti culture event Seba Baduy 2017, Koki Rimba menyempatkan diri menjelajahi beragam citra rasa tak terhitung di Kota Rangkasbitung.

Selepas mengikuti prosesi inti Seba Baduy di Pendopo Bupati Lebak di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, Lebak, Banten, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Esthy Reko Astuti  ingin minum yang dingin-dingin.

Bisa jadi dia masih kehausan karena sebelumnya mengikut Babacakan Jeung Urang Kanekes (orang Baduy) bersama Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya di halaman Pendopo dengan menu Nasi Liwet dan beragam lauk khas Sunda seperti ikan asin, ayam kampung goreng, cah kangkung dan beragam lalapan seperti ketimun, kacang panjang, daun salada, dan pete serta sambal tomat goreng yang semuanya ditaruh di atas deretan daun pisang hingga menggoda selera.

Gayung bersambut, salah seorang panitia Seba Baduy 2017 dari Pemkab Lebak memberi rekomendasi resto untuk mewujudkan keinginan Esthy.

Didampingi Kepala Bidang Promosi Wisata Budaya Kemenpar Wawan Gunawan, berangkatlah kami ke resto sesuai petunjuk panitia tersebut.

Namanya Kemuning Resto, sesuai dengan tulisan yang terpampang di tembok depan resto tersebut, yang berada di Jalan Sunan Bonang No.10, sekitar 1 Km dari Alun-Alun Rangkasbitung.

Di halaman depannya diteduhi Pohon Mangga yang daunnya cukup rindang dan sedang berbuah.

Melihat bangunan restonya seperti rumah bekas orang Belanda jadoel atau jaman doeloe.

Itu bisa jadi, karena sejarah Rangkasbitung tak lepas dari sejarah perjuangan Multatuli alias “Eduard Douwes Dekker”, yaitu tokoh Belanda yang kabarnya pernah berjuang memerdekakan masyarakat Kabupaten Lebak dari kesengsaraan akibat dijajah.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang artinya “banyak yang sudah aku derita” yang terkenal dengan karangan bukunya yang berjudul Max Havelar.

Dari situlah nama Multatuli kemudian menjadi ikon Kota Rangkasbitung dan diabadikan untuk nama alun-alun dan jalan utama, bahkan untuk nama museum yang baru diresmikan tahun lalu.

Meski tak luas, resto yang berada di tepi jalan raya ini punya halaman parkir yang mungkin cuma mampu menampung 5 mobil di bagian samping kiri. Sedangkan bagian samping kanannya terdapat payung-payung tenda lengkap dengan meja dan kursi.

Di serambi depan ada dua meja dan beberapa kursi. Begitupun di bagian tengah yang merangkap dapur terbuka di belakangnya, dan ruangan sisi kiri yang juga merangkap kasir.

Lantaran haus dan ingin minum yang dingin-dingin, Esthy memesan Es Kemuning, semacam es campur yang berisi aneka buah seperti alpukat, kelapa, dan lainnya.

Lain lagi dengan Wawan. Lantaran tidak sempat ikut Babacakan (makan malam bersama dengan orang Baduy) karena mobilnya sempat mengalami kendala usai mengikut acara di Pandeglang, dia memesan menu makan malam Nasi Goreng dan Cumi Kuah Asam Manis.


Selain Es Kemuning yang menjadi salah satu menu andalan resto ini, masih ada beberapa jenis minuman lainnya.

Koki Rimba sendiri memesan Hot Nescafe dan Jus Alpukat serta Pisang bakar.

Sementara Sony, Even Organizer (EO) yang mengurus dukungan Kemenpar dalam Seba Baduy 2017 ini, memilih Es Kemuning dan Pisang Goreng.

Hadi, asisten Wawan memesan Hot Nescafe serta Bakwan Udang. Sedangkan Rijal, Stafnya Wawan memilih Lemon Squash dan Pempek, sementara Robi stafnya Sony memesan Roti Bakar dan Hot Black Kupu-Kupu yang juga menjadi salah satu minuman andalan resto ini.

Setelah Koki Rimba cicipi semua jenis minuman dan makanan itu, boleh dibilang serba enak dan pantas untuk direkomendasikan ke publik.

Harganya pun masuk akal alias terjangkau. Segelas Es Kemuning misalnya cuma Rp 14 ribu, Hot Nescafe Rp 8 ribu, Lemon Squash Rp 10 ribu, Hot Black Kupu-Kupu Rp 5 ribu.
Begitu pun aneka camilannya, Pempek Rp 15 ribu, Bakwan Udang seporsi isi 3 potong Rp 10 ribu, Roti Bakar Rp 10 ribu, dan Pisang Bakar/Goreng masing-masing Rp 12 ribu.

Tak sulit menjangkau resto ini. Pengunjung yang datang dari Jakarta bisa naik kereta api commuter line dari Stasiun Tanah Abang, Palmerah, ataupun Stasiun Kebayoran Lama ke Stasiun Rangkasbitung selama sekitar 2,5 jam. Kemudian tinggal naik becak dari depan stasiun.

Saking asyiknya nyantai, ngobrol, ngudut, dan ngemil di Kemuning Resto, tak terasa sudah hampir jam 12 malam.
Padahal resto milik Isty Desrina ini tutup pukul 10 malam, sedangkan bukanya pukul 10 pagi setiap hari.

Kami pun kembali ke Hotel Bumi Katineung di Jalan Multatuli, tempat kami menginap yang jaraknya sekitar 300 meter dari resto tersebut.

Esok paginya selepas Nyabu jo alias Nyarapan Bubur Kacang Ijo di hotel yang kabarnya terbaik di Rangkasbitung itu, Koki Rimba melanjutkan jelajah kuliner di seputaran Kota Rangkasbitung sebelum bertolak ke Pandeglang dan Kota Serang mengikuti rangkaian Seba Baduy 2017 berikutnya.

Ada beberapa tempat kuliner Kota Rangkasbitung yang Koki Rimba sambangi dengan becak, namun tidak semua dicicipi makanannya.

Di antaranya Mie Sadis Pedas di Jalan R.A Kartini No.12, Nasi Uduk Bolo2 Mamah Anna di Kampung Leuwiranji Jalan Sunan Kalijaga, Martabak Malabar di Jalan Stasiun (Jalan Sunan Kalijaga), Warung Nasi Ka Oyo juga di Jalan Sunan Kalijaga,  Mie Ayam Kangkung Keriting Awi di Jalan Multatuli No 45, dan Rumah Makan Ramayana juga di Jalan Multatuli.

Lanjut ke Warung Sate Ojolali I (Maman) di Jalan Empang (Jalan RT. Hardiwinangun), Juice Alun-Alun Rangkasbitung, dan Soto Tangkar juga di Alun-Alun Rangkasbitung, serta Gado-Gado Sunan Bonang Jalan Sunan Bonang.

Selain di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, sentra kuliner Kota Rangkasbitung juga ada di Balong Ranca Lentah atau Situ Balong (empang/kolam), tak jauh dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan RT Hardiwanungun.

Sayangnya saat menjelajahi tempat-tempat bersantap itu, Koki Rimba tak menemukan Kue Jojorong, kue khas Rangkasbitung yang terbuat dari tepung sanji, tepung beras, dan gula merah yang di bungkus daun pisang.

Mungkin harus balik ke Rangkasbitung lagi alias bersambung. Dan sepertinya memang harus, karena wisata kuliner itu Ibukota Kabupaten Lebak ini pun never ending.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar