Hewan
bercangkang ini namanya Tutut (Bellamya spp). Keong kecil berwarna gelap
kehitaman ini biasanya mudah ditemukan di sawah. Keberadaannya dulu sempat tak
dianggap, kurang dilirik orang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat terutama
di pedesaan mulai memanfaatkannya menjadi camilan dan lauk.
Hewan dalam kelompok Operculat ini biasanya dimasak dengan bumbu kunyit, kadang ditambahin santan, dan
bermacam bumbu lainnya.
Dari Sawah, Tutut hijrah ke kota-kota. Awalnya dijual di
pinggir jalan. Di Jakarta contohnya, antara lain dapat ditemui di
Kwitang, Jakarta Pusat dan sepanjang jalan menuju TMII, Jakarta Timur. Tutup
pun mulai jadi santapan sejumlah orang perkotaan.
Belakangan in, derajat Tutut pun naik kelas. Keong suku Viviparidae ini sudah masuk menu andalan sejumlah resto. Alas Daun
merupakan satu resto yang berhasil mengangkat derajat Tutut. Resto yang berada
di di Jalan Citarum No.34, Riau, Bandung, Jawa Barat ini menyajikan Tutut kuah
kuning. Yang menarik Tutut disajikan dalam wadah yang cukup menarik perhatian,
yakni wajan kecil. Tutut nampak terlihat lebih anggun. Harga seporsinya hanya
Rp 7.000.
Sewaktu travelplusindonesia bertandang
ke Bandung yang kini berjuluk Kota Solidaritas Asia Afrika, dalam peliputan side events terkait puncak peringatan KAA yang diselenggarakan Kementerian
Pariwisata, sempat mampir ke resto ini dan mencoba Tutut-nya. Seumur hidup baru
kali ini, penulis mencicipinya.
Bentuknya yang kecil dan warnanya yang kurang menarik,
membuat penulis selama ini enggan menyantap Tutut. Apalagi masih ada rasa
sangsi, apakah keong yang satu ini halal atau haram disantap Muslim. Tapi
ketika melihat sajiannya yang unik di wajan mini, ditambah warna kuahnya yang
kuning, akhirnya tergoda juga lidah ini menyentuhnya lalu menelannya.
Semula penulis agak kesulitan bagaimana cara menyantapnya.
Soalnya bentuknya kecil-kecil, beda dengan Gonggong,
keong khas Batam, Bintan dan beberapa daerah lain di Kepulauan Riau yang
berpenampilan lebih menarik dan nampak bersih, berukuran besar dan berwarna
putih. Tapi lama-lama penulis lihai juga. Disedot lalu dicukil dagingnya dengan
tusuk gigi, baru kemudian dilahap. Rasanya gurih dan kuahnya sedap.
Selain karena Tutut dan penyajiannya, tempat makan yang
menyajikan aneka masakan khas Sunda ini pun menawarkan sensasi makan yang unik
kepada para pengunjungnya, yakni makan dengan menggunakan alas daun pisang
sesuai namanya. Jadi jangan harap pengunjungnya dapat menemukan piring di resto
ini, sebagaimana resto umumnya.
Penulis
jadi teringat cara makan ala pecinta alam dan beberapa komunitas pendaki gunung
dengan lembaran daun pisang. Nasi dan sejumlah lauk serta sambal ditaruh di
atas nasi atau di tepiannya, lalu disantap rame-rame. Bisa
jadi konsep makan ala pecinta alam ini memang ditiru oleh pengelola resto ini,
kemudian dikemas lebih berkelas.
Lauk
lain yang disajikan di wajan mini di resto ini ada Orak Arik Bunga
Pepaya. Seporsinya Rp 12.000. Isinya tentu saja bunga pepaya, telur, kacang
panjang, dan cabe rawit. Rasanya cukup pedas.dan aneka sambal seperti Sambel
Goreng Kentang, Sambal Dadak, dan Sambal Halilintar.
Lalu
ada Ayam Bumbu Ijo seharga Rp 16.000. Ayam goreng ini
dipadukan dengan sambal hijau yang berminyak di dalam kuali mungil. Daging
ayamnya empuk dan agak basah. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging. Rasa
sambalnya cukup kuat namun tidak begitu menyengat.
Ada
juga Tumis Pare, Pepes Tahu, Ayam Bakar Gurih, Pete bakar, Tempe
Mendoan, Tahu dan Tempe Goreng, Sate Maringgi, Bandeng Pepes atau Bandeng
Gebuk, dan aneka lalapan pastinya.
Makanan
pembukanya anatar lain Tahu Genjrot, Colenan, dan Otak-Otak Ikan.
Sedangkan minumannya berbagai macam jus, es cincau, dan kelapa muda.
Kembali
ke soal Tutut, hewan dari marga Bellamya yang hidup di sawah
ini ada dua jenisnya, yakni Tutut Jawa (Bellamya javanica) dengan lokasi
sebarannya di Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia (kecuali Irian Jaya), dan
Filipina. Satu lagi Tutut Sumatera (Bellamya sumatrensis) yang dapat
ditemui di wilyah Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia terutama Sumatera
dan Jawa.
Kendati
secara fisik hewan ini kurang menarik dan imej kampungan menyertainya lantaran
senang berkembangbiak di sawah. Namun siapa sangka, Tutut menyimpan kandungan
gizi tinggi, baik protein, vitamin, dan zat lainnya.
Data Positive
Deviance Resource Centre menyebutkan, Tutut mengandung protein
12% , kalsium 217 mg, rendah kolesterol, 81 gram air dalam 100 gramnya, dan
sisanya energi, karbohidrat, seerta phosfor.
Kandungan
vitaminnya juga kaya, terutama vitamin A, E, niacin, dan folat. Sebagaimana
kita ketahui, vitamin A berkhasiat untuk mata, vitamin E untuk regenerasi sel
dan kecantikan kulit, niacin berperan dalam metabolisme karbohidrat untuk
menghasilkan energi, dan folat baik untuk ibu hamil supaya bayinya tidak cacat
tabung syarafnya, dan banyak lagi.
Tutut
juga mengandung zat gizi makronutrien berupa protein dalam
kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya Dengan kata lain, Tutut dapat dijadikan
sumber protein hewani yang bermutu dengan harga yang jauh lebih murah daripada
daging sapi, kambing ataupun ayam.
Kadar
kalsium Tutut pun terbilang luar biasa, kira-kira ada 217mg dalam 100gr atau
hampir setara dengan segelas susu.
Yang
bikin takjub lagi, Tutut juga dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit
seperti diabetes, maag, liver, kolesterol, dan berbagai penyakit lainnya.
Kendati
banyak khasiatnya, rupanya Tutut diam-diam berperan sebagai perantara cacing Trematoda pada
manusia. Tapi tak perlu cemas, dengan perebusan yang tepat, larva cacing
tersebut akan mati. Lama merebusnya minimal 20 menit jika dengan api besar,
kalau dengan api kecil sekitar 1 jam.
Naskah
& foto: adji kembara (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Seporsi Tutut, Tumis Pare, dan nasi
putih beralaskan daun di Resto Alas Daun, Bandung.
2. Suasana depan Resto Alas Daun,
Bandung.
3. Seporsi Tutut, keong kecil hitam
dari sawah yang diolah dan disajikan unik di Resto Alas Daun, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar