Laman

Selasa, 13 Januari 2015

Ketika Jengkol Berjasa Mewarnai Pendakian

Apa yang terlintas dibenak Anda, kalau saya menyebut Jengkol? “Hmmmm…bauuuu..”. Itu mungkin jawaban orang-orang yang tidak menyukainya dengan mimik jutek. “Wow weeennnaak tenaaaaan”.  “Dia dewa penyelamat  selera makanku...”. Dua jawaban kedua itu jelas keluar dari mulut orang-orang yang menggemarinya dengan wajah sumringah.

Maya, anggota Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) yang ikut pendakian ke Gunung Batu di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini, termasuk orang yang melontarkan jawaban yang pertama. Ya dia memang anti jengkol, lantaran menurutnya baunya amat menyengat, bisa membuatnya muntah-muntah.

“Haaaa goreng jengkoool?..,” teriak Maya terheran-heran ketika saya tengah memotong-motong buah berbau khas itu, dibantu Alin. Selama saya menggorengnya, Maya memilih menjauh.

Setelah matang, dia  pun  tidak menyentuh jengkol goreng beraroma harum itu sama sekali, termasuk bumbunya. Itu bukti bahwa dia benar-benar tak menyukainya. Dia tidak pura-pura tidak suka karena takut dibilang kampungan, seperti cap banyak orang kalau menggemari jengkol.

Sayangnya Maya cuma sendirian. Ketigabelas rekan pendakiannya yang lain, semua menyukai jengkol termasuk saya. Bahkan beberapa di antaranya ada yang super maniak. “Bang, jengkolnya enak banget,” ujar Hasbi, Ketua Umum PELITA.

“Gila, mantappp..., bumbunya,” sambung Dani sambil menjilat-jilat bumbu jengkol goreng yang tersisa di jari-jari tangannya. Sementara yang lainnya diam. 

Diam bukan karena menolak tapi tak sanggup menolak kelezatannya. Buktinya Elan, anggota PELITA lainnya mengacungkan jempolnya, tanda OK.

Jengkol goreng santap malam itu menjadi juaranya dibanding menu-menu lain yang selama ini bercitra lebih berkelas seperti sosis, bakso, kentang, ikan sarden, dan sayur sop.

Melihat begitu lahapnya mereka menyantap nasi berserta semua lauknya, terlebih jengkol goreng, membuat saya senang. “Alhamdulillah, tidak ada yang mubazir,” kata hatiku.

Jengkol goreng malam itu bisa saya bilang jadi pemersatu bangsa. Bagaimana tidak, yang menyantapnya berasal dari Aceh hingga Papua. Dari Aceh ada Saiful A.Zy Ketua Adat PELITA, dari Sumatera Barat ada Ropianto, dari Sumatera Selatan ada Elan dan Ramde, lalu dari Jawa Barat ada Hasbi, Alin, Pani, dan Dani, dari Jogja ada Gyan, dan Givan dari Papua, tepatnya Manokwari. Belum termasuk Bicky, Oci, saya sendiri serta Nando yang kini berdomisili di Jakarta.

Membuat jengkol goreng saat pendakian, tak begitu merepotkan. Jengkol bisa di pasar atau warung sayur mayur. Pilih jengkol yang tua. Belah dua, kalau yang berukuran besar setiap belahannya dipotong empat, kalau yang kecil cukup dipotong menjadi dua.

Sebaiknya direndam dulu, untuk mengurangi baunya. Tapi kalau lagi di gunung, dikesampingkan saja hal itu. Cukup dicuci setelah dipotong-potong, kemudian goreng jengkol setengah matang lalu diangkat.

Bumbunya simple-simple aja. Bawang merah, bawang putih, garam (diperbanyak), dan kemiri semua diulek halus. Kalau mau sedap lagi, iris bawang merah lalu digoreng kemudian masukkan irisan tomat. Biar menarik, tambahkan irisan bawang bombay dan cabe merah. Setelah semua bumbu masak dan harum, baru masukkan jengkol tadi. Aduk-aduk sampai matang dan siap disantap.

Khasiat Jengkol
Buah bernama latin Archidendron pauciflorum yang tumbuh di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia ini memang menjadi buah yang sampai kini dicintai dan dibenci banyak orang.

Di Indonesia, jengkol memiliki nama berbeda. Karena baunya yang khas, ada yang menjulukinya "Ati Macan". entahlah kenapa bisa dijuluki begitu.

Orang Jawa sendiri menyebutnya erringorang Batak lain lagi menamakannya joring atau jering, sementara orang Sulawesi menyebutnya lubi, dan orang Minang memanggilnya jariang, sedangkan orang Lampung menyebutnya jarring.

Negeri tetangga Malaysia menyebut jengkol dengan istilah jering, di Myanmar disebut "da nyin thee'", dan di Thailand "luk-nieng" atau "luk neang". Sedangkan orang bule menjulukinya dog fruit.

Karena berbiji, buah berbau khas ini termasuk dalam suku polong-polongan (Fabaceae). Pohon jengkol yang tingginya bisa mencapai 30 meter di dataran tinggi maupun rendah, juga disebut-sebut pohon konservasi air, lantaran berkemampuan dalam menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat.

Beberapa waktu lalu, jengkol  pernah begitu “seksi” lantaran keberadaannya sulit didapat alias langka hingga harganya melonjak melebihi harga ikan bahkan daging.

Biasanya orang Indonesia mengolah jengkol sebagai menu makanan seperti semur, balado, goreng, keripik, kerupuk, dan lalapan (terutama jengkol muda). Ada juga yang kreatif menjadikannya sate, dan rebusan jengkol yang dimakan dengan bumbu terpisah seperti orang Banjar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Selain mengandung kalsium tinggi, proteinnya juga lebih baik daripada tempe. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui protein jengkol sebesar  23,3 gram per 100 gram, sedangkan tempe yang selama ini dikenal sebagai sumber protein nabati, hanya 18,3 gram per 100 gram. 

Dalam penelitian lainnya, didapati bahwa jengkol juga mengandung banyak vitamin, asam jengkolat, mineral, dan serat yang tinggi. Dia pun berkhasiat diutetic yang dapat membantu melancarkan pembuangan urine, yang dapat menguntungkan bagi penderita penyakit jantung koroner.

Buat yang perutnya agak buncit, jengkol dapat mengecilkannya. Soalnya kandungan seratnya dapat melancarkan buang air besar, sehingga secara tidak langsung dapat membentu melangsingkan perut yang buncit akibat sulit BAB.

Kandungan asam dan mineralnya pun bisa mencegah diabetes/kencing manis. Namun asam jengkolat dalam kandungannya berupa kristal, tidak mudah larut oleh air. 

Kalau tak mau anyang-ayangan atau kejengkolan, sebaiknya mengkonsumsinya jangan berlebihan karena ginjal bisa jadi tidak dapat menyaring asam tersebut dalam jumlah terlampau banyak hingga kesulitan pipis.

Musim hujan begini, udara biasanya dingin, bikin cepat lapar. Sepiring nasi hangat dengan jengkol goreng, kembali terbayang-bayang. Kedua kombinasi itu, rasanya mengalahkan segalanya, termasuk makanan hotel bintang lima, kalau mau lebay sekalian. 

Untuk mewujudkan impian besar itui, usai melakukan pendakian di Gunung Batu, rekan-rekan PELITA, kembali tergoda dengan jengkol goreng. Di markasnya, daerah Bogor, samping Universitas Nusa Bangsa, saya dibantu Hasbi Chubby, anggota PELITA juga dan Ramde kembali memasak menu spesial itu. 

Kami pun kembali larut dalam "kemewahan" tiada tara. "Jengkoool..., oh jengkoool.." kata Dani seraya kembali menjilat bumbu-bumbu jengkol goreng di jari-jari tangannya sampai bersih merata.

Naskah & foto: adji kembara (kokirimba@yahoo.com)

Captions:
1, Jengkol Goreng ala koki rimba di Gunung Batu, Jabar.
2. Buah berbau khas ini pun mempersatukan keberagaman bangsa ini.
3. Sayur Sop, Sosis Goreng, Nasi Teri dan lainnya tak mampu kalahkan "keperkasaan" Jengkol Goreng dalam pendakian kali ini.
4. Alin membagikan Jengkol Goreng dan menu lainnya di atas hamparan Nasi Teri.
5. Lahap dan ludes.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar