Menyebut sop, pastinya yang
terlintas dibenak adalah makanan berkuah bening berisi iga sapi atau daging
kambing ataupun ayam dengan aneka sayur seperti wortel, kubis, buncis, dan
potongan kentang. Tapi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sopnya berbahan
utama ikan laut segar. Namanya Ikan Parende. Rasanya, alaaaaaamaaaaak...
Sewaktu Zaharaini (52), pemilik Warung Wangi-Wangi di Jalan Protokol, Kelurahan Saragi, Kecamatan Pasarwajo, Ibukota Kabupaten Buton menyuguhkan semangkuk Ikan Parende di depanku, mataku kembali terbelalak.
Padahal ini bukan
kali pertama aku menikmati Ikan Parende. Tiga tahun lalu, pertama kali ke Buton, aku
mengenal kuliner ini saat diajak Abdul Zainuddin Napa (ketika itu jabatannya
Kadiskominfo). Dua tahun kemudian, dia (sudah menjadi Kadisbudpar Buton), mengajakku
lagi untuk menyantap kuliner yang sama, di tempat yang sama.
Ajakannya, jelas
saja tak ku tolak, karena sejak awal aku sudah jatuh cinta dengan Parende. Pertama melihat semangkung Ikan Parende, indra
penglihatanku langsung tergoda dengan warna kuahnya yang kekuningan, ditambah
taburan irisan daun bawang dan bawang goreng yang mengambang di permukaan
kuahnya, menutupi 3 potong ikan di dalamnya.
Sebelumnya,
hidungku sudah tergoda lebih dulu dengan aroma khas yang membuat usus dan
lambungku kontan meratap-ratap ingin segera diisi.
“Warna kuning itu
berasal dari kunyit. Tapi yang saya pakai kunyit bubuk kering yang dipesan dari
Kota Kendari, bukan kunyit asli. Soalnya kalau kunyit asli, baunya terlalu
menyengat dan banyak pelanggan yang kurang suka,” jelas ibu beranak 4 mencoba
membongkar rahasia dapurnya.
Tak sabar mencicipi
rasanya, aku segera mengambil irisan jeruk nipis yang ditempatkan di piring
kotak kecil berikut dengan beberapa cabai rawit merah yang warnanya tak kalah
menggoda. Perasan air jeruk nipis ke kuah sop itu kian mencuatkan aroma khas.
Dan ketika aku hirup kuahnya, alamak sensasi segar begitu terasa dengan gurih
yang ringan.
“Selain kunyit
bubuk kering, bumbunya cuma bawang merah, sereh, dan belimbing. Tidak pakai
bumbu penyedap sama sekali,” aku Zaharaini yang sejak 2003 berdagang sop ikan
ini.
Kini tinggal
ikannya yang membuatku penasaran. Sewaktu aku santap, ternyata empuk dagingnya,
mirip dengan ikan patin tapi tidak terlalu lembek. Apalagi saat menyantap
bagian kepalanya, rasanya pingin nambah, nambah, dan nambah lagi.
“Ikan yang dipakai
untu Parende ini Ikan Bubara. Saya beli langsung di tempat pelelangan ikan
di Teluk Pasarwajo. Harganya bisa mencapai Rp 300ribu per ekor dengan ukuran
panjang hampir 1 meter. Ada juga yang memakai ikan Kakap Merah,” jelas
perempuan yang setiap hari menjual minimal 50 porsi Ikan Parende dengan harga Rp
25ribu per porsi ditambah sepiring nasi putih Rp 5.000 ini.
Pada kesempatan kedua, aku melongok dapur rumah makan ini. Zaharaini tengah memanggang ikan. Menurutnya,
tak sulit membuat Ikan Parende. Prosesnya ikan dicuci dan dibersihkan sisiknya.
Lalu ditiriskan hingga air cuciannya tak tersisa. Siapkan panci untuk memasak
air. Setelah air mendidih, masukkan semua bumbunya yakni bawang merah, kunyit
bubuk yang kering, jeruk nipis, belimbing, dan garam secukupnya.
“Kalau Ikan Parende
buatan saya, bumbunya tidak ditumis sesuai resep masakan orang Buton dulu. Tapi
sekarang banyak orang yang menumis terlebih dulu bumbunya. Saya tetap
mempertahankan resep asli warisan leluhur,” akunya.
Setelah itu
potongan ikan dimasukkan. Masak sekitar 15 menit. Kalau aromanya sudah tercium,
itu tandanya sudah siap disajikan. “Paling enak disantap selagi hangat,” jelas
Zaharaini yang juga menjual masakan khas Buton lain seperti Ayam Parende
seharga Rp 30.000 per porsinya.
Tak ada 20 semenit,
semangkuk Ikan Parende habis ku santap. Aku jadi teringat sop ikan khas Batam,
Kepulauan Riau. Sekalipun sama-sama sop ikan tapi citra rasanya beda. Entah
kenapa Sop Parende terasa lebih orisinil, kuat muatan lokalnya.
Semangkuk Ikan Parende yang baru selesai ku nikmati, seolah memberi gambaran kongkrit bahwa
potensi perairan Buton kaya aneka jenis ikan konsumsi. Sampai hampir 80 persen
warganya tinggal di pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan sekaligus
petani. Bahkan sektor perikanan menjadi andalan kedua PAD Buton, dibawah
pertambangan terutama aspal.
Tak heran kalau
makanan tradisional masyarakatnya juga berbahan dasar ikan. Dan tak heran juga
jika sampai ada anggapan, belum lengkap kunjungan ke Buton kalau belum
menyantap Semangkung Ikan Parende-nya.
Naskah & Foto:
adji kembara (kokirimba@yahoo.com)
Captions:
1, Seporsi Ikan Parende khas Buton.
2. Zaharaini, pemilik
Warung Wangi-Wangi yang menyajikan Ikan Parende.
3. Seporsi Ikan Parende dan Ayam Parende.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar