Apa
yang terlintas dibenak Anda, kalau saya menyebut Jengkol? “Hmmmm…bauuuu..”. Itu
mungkin jawaban orang-orang yang tidak menyukainya dengan mimik jutek. “Wow weeennnaak
tenaaaaan”. “Dia dewa penyelamat selera makanku...”. Dua jawaban kedua itu
jelas keluar dari mulut orang-orang yang menggemarinya dengan wajah sumringah.
Maya,
anggota Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) yang ikut pendakian ke Gunung Batu
di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini, termasuk
orang yang melontarkan jawaban yang pertama. Ya dia memang anti jengkol,
lantaran menurutnya baunya amat menyengat, bisa membuatnya muntah-muntah.
“Haaaa
goreng jengkoool?..,” teriak Maya terheran-heran ketika saya tengah
memotong-motong buah berbau khas itu, dibantu Alin. Selama saya menggorengnya,
Maya memilih menjauh.
Setelah
matang, dia pun tidak menyentuh jengkol goreng beraroma harum
itu sama sekali, termasuk bumbunya. Itu bukti bahwa dia benar-benar tak
menyukainya. Dia tidak pura-pura tidak suka karena takut dibilang kampungan,
seperti cap banyak orang kalau menggemari jengkol.
Sayangnya
Maya cuma sendirian. Ketigabelas rekan pendakiannya yang lain, semua menyukai
jengkol termasuk saya. Bahkan beberapa di antaranya ada yang super maniak. “Bang,
jengkolnya enak banget,” ujar Hasbi, Ketua Umum PELITA.
“Gila,
mantappp..., bumbunya,” sambung Dani sambil menjilat-jilat bumbu jengkol goreng
yang tersisa di jari-jari tangannya. Sementara yang lainnya diam.
Diam bukan karena menolak tapi tak sanggup menolak kelezatannya. Buktinya Elan, anggota PELITA lainnya mengacungkan jempolnya, tanda OK.
Diam bukan karena menolak tapi tak sanggup menolak kelezatannya. Buktinya Elan, anggota PELITA lainnya mengacungkan jempolnya, tanda OK.
Jengkol
goreng santap malam itu menjadi juaranya dibanding menu-menu lain yang selama
ini bercitra lebih berkelas seperti sosis, bakso, kentang, ikan sarden, dan sayur
sop.
Melihat
begitu lahapnya mereka menyantap nasi berserta semua lauknya, terlebih jengkol
goreng, membuat saya senang. “Alhamdulillah, tidak ada yang mubazir,” kata
hatiku.
Jengkol
goreng malam itu bisa saya bilang jadi pemersatu bangsa. Bagaimana tidak, yang menyantapnya
berasal dari Aceh hingga Papua. Dari Aceh ada Saiful A.Zy Ketua Adat PELITA, dari
Sumatera Barat ada Ropianto, dari Sumatera Selatan ada Elan dan Ramde, lalu dari
Jawa Barat ada Hasbi, Alin, Pani, dan Dani, dari Jogja ada Gyan, dan Givan dari
Papua, tepatnya Manokwari. Belum termasuk Bicky, Oci, saya sendiri serta Nando yang
kini berdomisili di Jakarta.
Membuat
jengkol goreng saat pendakian, tak begitu merepotkan. Jengkol bisa di pasar
atau warung sayur mayur. Pilih jengkol yang tua. Belah dua, kalau yang
berukuran besar setiap belahannya dipotong empat, kalau yang kecil cukup
dipotong menjadi dua.
Sebaiknya direndam dulu, untuk mengurangi baunya. Tapi kalau lagi di gunung, dikesampingkan saja hal itu. Cukup dicuci setelah dipotong-potong, kemudian goreng jengkol setengah matang lalu diangkat.
Bumbunya
simple-simple aja. Bawang merah, bawang putih, garam (diperbanyak), dan kemiri
semua diulek halus. Kalau mau sedap lagi, iris bawang merah lalu digoreng
kemudian masukkan irisan tomat. Biar menarik, tambahkan irisan bawang bombay dan cabe merah. Setelah semua bumbu masak dan harum, baru
masukkan jengkol tadi. Aduk-aduk sampai matang dan siap disantap.
Khasiat Jengkol
Buah
bernama latin Archidendron pauciflorum yang tumbuh di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia
ini memang menjadi buah yang sampai kini dicintai dan dibenci banyak orang.
Di Indonesia, jengkol memiliki
nama berbeda. Karena baunya yang khas, ada yang menjulukinya "Ati Macan". entahlah kenapa bisa dijuluki begitu.
Orang Jawa sendiri menyebutnya erring, orang Batak lain lagi menamakannya joring atau jering, sementara orang Sulawesi menyebutnya lubi, dan orang Minang memanggilnya jariang, sedangkan orang Lampung menyebutnya jarring.
Orang Jawa sendiri menyebutnya erring, orang Batak lain lagi menamakannya joring atau jering, sementara orang Sulawesi menyebutnya lubi, dan orang Minang memanggilnya jariang, sedangkan orang Lampung menyebutnya jarring.
Negeri
tetangga Malaysia menyebut jengkol dengan istilah jering, di Myanmar disebut
"da nyin thee'", dan di Thailand "luk-nieng" atau "luk
neang". Sedangkan orang bule menjulukinya dog fruit.
Karena
berbiji, buah berbau khas ini termasuk dalam suku polong-polongan (Fabaceae).
Pohon jengkol yang tingginya bisa mencapai 30 meter di dataran tinggi maupun rendah, juga disebut-sebut pohon konservasi
air, lantaran berkemampuan dalam menyerap air tanah yang tinggi sehingga
bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat.
Beberapa
waktu lalu, jengkol pernah begitu “seksi”
lantaran keberadaannya sulit didapat alias langka hingga harganya melonjak
melebihi harga ikan bahkan daging.
Biasanya
orang Indonesia mengolah jengkol sebagai menu makanan seperti semur, balado, goreng,
keripik, kerupuk, dan lalapan (terutama jengkol muda). Ada juga yang kreatif menjadikannya sate, dan rebusan jengkol yang dimakan dengan bumbu terpisah seperti orang Banjar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Selain
mengandung kalsium tinggi, proteinnya juga lebih baik daripada tempe. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui protein
jengkol sebesar 23,3 gram per 100 gram, sedangkan
tempe yang selama ini dikenal sebagai sumber protein nabati, hanya 18,3 gram per 100 gram.
Buat
yang perutnya agak buncit, jengkol dapat mengecilkannya. Soalnya kandungan seratnya dapat melancarkan
buang air besar, sehingga secara tidak langsung dapat membentu melangsingkan perut yang
buncit akibat sulit BAB.
Kandungan
asam dan mineralnya pun bisa mencegah diabetes/kencing manis. Namun asam
jengkolat dalam kandungannya berupa kristal, tidak mudah larut oleh air.
Kalau tak mau anyang-ayangan atau kejengkolan, sebaiknya mengkonsumsinya jangan berlebihan karena ginjal bisa jadi tidak dapat menyaring asam tersebut dalam jumlah terlampau banyak hingga kesulitan pipis.
Musim hujan begini, udara biasanya dingin, bikin cepat lapar. Sepiring nasi hangat dengan jengkol goreng, kembali terbayang-bayang. Kedua kombinasi itu, rasanya mengalahkan segalanya, termasuk makanan hotel bintang lima, kalau mau lebay sekalian.
Untuk mewujudkan impian besar itui, usai melakukan pendakian di Gunung Batu, rekan-rekan PELITA, kembali tergoda dengan jengkol goreng. Di markasnya, daerah Bogor, samping Universitas Nusa Bangsa, saya dibantu Hasbi Chubby, anggota PELITA juga dan Ramde kembali memasak menu spesial itu.
Kami pun kembali larut dalam "kemewahan" tiada tara. "Jengkoool..., oh jengkoool.." kata Dani seraya kembali menjilat bumbu-bumbu jengkol goreng di jari-jari tangannya sampai bersih merata.
Kalau tak mau anyang-ayangan atau kejengkolan, sebaiknya mengkonsumsinya jangan berlebihan karena ginjal bisa jadi tidak dapat menyaring asam tersebut dalam jumlah terlampau banyak hingga kesulitan pipis.
Musim hujan begini, udara biasanya dingin, bikin cepat lapar. Sepiring nasi hangat dengan jengkol goreng, kembali terbayang-bayang. Kedua kombinasi itu, rasanya mengalahkan segalanya, termasuk makanan hotel bintang lima, kalau mau lebay sekalian.
Untuk mewujudkan impian besar itui, usai melakukan pendakian di Gunung Batu, rekan-rekan PELITA, kembali tergoda dengan jengkol goreng. Di markasnya, daerah Bogor, samping Universitas Nusa Bangsa, saya dibantu Hasbi Chubby, anggota PELITA juga dan Ramde kembali memasak menu spesial itu.
Kami pun kembali larut dalam "kemewahan" tiada tara. "Jengkoool..., oh jengkoool.." kata Dani seraya kembali menjilat bumbu-bumbu jengkol goreng di jari-jari tangannya sampai bersih merata.
Naskah & foto: adji kembara
(kokirimba@yahoo.com)
Captions:
1, Jengkol Goreng ala koki rimba di Gunung Batu, Jabar.
2. Buah berbau khas ini pun mempersatukan keberagaman bangsa ini.
3. Sayur Sop, Sosis Goreng, Nasi Teri dan lainnya tak mampu kalahkan "keperkasaan" Jengkol Goreng dalam pendakian kali ini.
4. Alin membagikan Jengkol Goreng dan menu lainnya di atas hamparan Nasi Teri.
5. Lahap dan ludes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar