Dingin-dingin
begini, sarapan dengan nasi uduk hangat bertabur bawang goreng yang banyak di
atasnya, ditambah emping dan sambal kacang pasti nikmat banget. Apalagi lauknya
semur jengkol, bakwan udang, empal gepuk daging, serta lalapan mentimun, daun kemangi, dan salada, pasti jadi suguhan komplit nan sempurna. “Hmmmm.., mimpi kaliyeeee”.
Begitu
kata hatiku saat berada di Alun-alun
Suryakencana (Aa Surken), lembah cantik
seluas sekitar 50 hektar yang bertabur tanaman edelweiss, sang bunga abadi.
Aa Surken berada di ketinggian 2.750 Meter di atas permukaan laut
(Mdpl) persis di bawah puncak Gede. Lembah idaman para pendaki ini, kali ini ku
capai 6 jam dari jalur Gunung Putri, sepanjang 11,8 Km dengan perjalanan santai.
Kenapa tiba-tiba aku
kepingin nasi uduk saat diselimuti kabut dingin dini hari di lembah itu?
Soalnya sejak tahun 2000-an ada beberapa penduduk yang tinggal di kaki Gede,
tepatnya di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur yang menjual nasi uduk di
lembah itu, bahkan sampai Puncak Gede
yang berketinggian 2.958 Mdpl atau setara 9.705 kaki.
Sayangnya pedagang nasi
uduk yang ku tunggu tidak datang. Akhirnya aku putuskan menuju puncak. Sebenarnya dari alun-alun ke puncaknya hanya
200 meter saja, cuma tanjakannya panjang hingga lumayan menguras tenaga. Rasa
lapar pun semakin menjadi.
Tiba di puncak. pagi
masih gelap. Kabut tebal belum beranjak dari langitnya. Udara yang dihembuskan
anginnya menerpa tebing kawah, pucuk-pucuk pohon cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dan tentu
saja menampar tubuh dan wajahku. Dinginnya sampai tulang, menusuk-nusuk. Termometer mencatat suhunya mendekati angka 5
derajat Celcius.
Lantaran kedinginan,
aku, kembali mengenakan jaket yang semula ku lepas saat menapaki medan menanjak
berbatu dari Aa Surken menuju
puncak.
Pagi itu aku bela-belain ke puncak Gede bukan untuk
menunggu sunset, bukan pula untuk
mengabadikan pesona keindahan panorama alamnya yang berlatar kawah aktif yang dalam dan Gunung Pangrango. Maklum ini pendakianku yang kesekian
kali.
Aku masih ingat, pertama
kali mendaki puncak Gede tahun 1987 lewat Jalur Cibodas (ketika itu
belum ada penjual nasi uduk di puncaknya) dan terakhir kali tahun 2013 lalu
lewat jalur Gunung Putri. Dari rentang waktu itu, sudah belasan kali aku menggapai
puncaknya.
Pendakian terakhir ke
Gede saat itu, aku cuma mau menunggu Mang Faris, salah seorang penduduk Cipanas yang menjual nasi uduk di puncak Gede.
Alhamdulillah, akhirnya aku ketemu pria
berkulit hitam dan bertubuh mungil itu. Sebelumnya pada tahun 2010, pedagang
nasi uduk ini sempat membuatku terheran-heran
karena kegigihannya bersusah payah mengais rezeki di ketinggian, semata untuk menafkahi istri dan anaknya.
Penampilannya tak
berubah. Gayanya sama seperti pendaki. Dia mengenakan raincoat (jaket hujan), balaklava (penutup kepala dari wol), dan daypack (ransel kecil) yang berisi dagangannya yakni nasi uduk yang berjumlah 30
bungkus.
Sebungkus nasi uduk
Mang Faris berisi nasi uduk kuning dengan sedikit bihun dan potongan telur
dadar goreng ukuran kecil seharga Rp 10.000 per bungkus. Porsinya sedikit, seukuran nasi kucing yang
dijual di angkringan Jogja. Dia juga membawa bala-bala atau gorengan bakwan Rp
2.000 per satuannya.
Harga tersebut rasanya
amat pantas. Pasalnya Mang Faris harus berjalan kaki dari rumahnya ke puncak
Gede selama sekitar 4 jam untuk menjual daganganya itu. Padahal kalau pendaki
biasa mencapainya sekitar 7 jam
Kendati tak sesuai
harapanku. Karena nasi uduknya sudah dingin dan lauknya tak lengkap, rasanya pun tak semakyus nasi uduk Kebon
Kacang-Jakarta yang tersohor, tetap saja nasi uduk tertinggi se-Indonesia itu
cukup nikmat. Apalagi makannya di antara pohon cantigi, sambil menikmati matahari terbit di puncak.
Selain mang Faris, di puncak Gede juga ada pedagang lain. Tapi dia hanya menjual pop mie, kopi, rokok, dan air mineral yang ditata di atas selembar plastik. Keberadaannya disebut-sebut "toserba" atau “mini market” gunung. Harga sebungkus rokok yang normalnya Rp 15.000, dijualnya Rp 25.000 per bungkus. Sedangkan pop mie Rp 15.000 per cup-nya.
Selain mang Faris, di puncak Gede juga ada pedagang lain. Tapi dia hanya menjual pop mie, kopi, rokok, dan air mineral yang ditata di atas selembar plastik. Keberadaannya disebut-sebut "toserba" atau “mini market” gunung. Harga sebungkus rokok yang normalnya Rp 15.000, dijualnya Rp 25.000 per bungkus. Sedangkan pop mie Rp 15.000 per cup-nya.
Kehadiran Mang Faris
dan pedagang lainnya di Gede membuktikan bahwa gunung terpopuler di Jawa Barat
ini menjadi lahan baru untuk meraup rejeki. Maklum setiap akhir pekan, sekurangnya
ada 500 pendaki ke puncaknya lewat Cibodas,
belum termasuk yang melalui jalur Gunung Putri.
Sepulang dari Gede, aku
indahkan harapanku dengan mengunjungi Warung Nasi Uduk Bang Udin di Rawa
Belong, Jakarta Barat. Akhirnya sepiring nasi
uduk hangat bertabur bawang goreng yang banyak di atasnya, ditambah emping, sambal kacang, dan aneka lauk semur jengkol,
bakwan udang, empal gepuk daging serta lalapan mentimun dan kemangi, terwujud.
Nasi Uduk Legendaris
Di Jakarta, selain Nasi
Uduk Bang Udin di Rawa Belong, masih banyak pedagang lainnya. Umumnya orang
Betawi Asli yang terkenal nasi uduknya lebih mantap rasanya.
Ada Warung Nasi Uduk Babe H. Saman yang sudah ada sejak tahun 1963.
Santapan khas Betawi ini biasanya dinikmati dengan ayam goreng, empal, dan tahu
serta tempe goreng, semur juga sambal kacang. Nasi uduk khas Jakarta ini
dibungkus dengan daun pisang hingga membuat aroma khas dan rasa nasi uduk jadi
lebih nikmat. Namun sebelum dibungkus daun pisang, nasi uduknya didinginkan
dahulu agar tidak berubah menjadi bubur saat dibungkus.
Walau sederhana, Warung
Makan Nasi Uduk Babe H yang berada di Kebon Kacang, Jakarta Pusat ini digemari
sejumlah pejabat seperti Ali Sadikin, Megawati Soekarnoputri, Sutiyoso, dan
lainnya. Warungnya buka mulai pukul 17.00 hingga 02.00 WIB. Satu bungkus nasi
uduk dihargai Rp 5.000. Lauknya bervariasi sepertuayam goreng, empal, dan
bakwan udang.
Pilihan lainnya Warung Nasi Uduk & Ayam Goreng Zainal Fanani. Pemiliknya Zainal Fanani, di Jalan Kebon Kacang 8,
Jakarta Pusat. Nasi uduk Kebon Kacang ini mulai dirintis sejak tahun 1967 oleh Abdul
Hamid Toha.
Saat itu, lokasinya
masih berada di sebuah tikungan jalan Kebon Kacang 1. Ketika Abdul meninggal,
sang anak, Zainal Fanani melanjutkan usaha tersebut. Lokasinya pun berpindah di
Jalan Kebon Kacang 8 No. 5. Lokasinya strategis, jadi pengunjungnya ramai pada
jam makan siang dan makan malam.
Kalau Anda bukan
pendaki gunung, sebaiknya nikmati Nasi Uduk Betawi di salah satu dari tiga
tempat itu. Tapi kalau Anda penyuka ketinggian dan tertarik ingin mendaki Gunung Gede, jangan lupa membeli dan
mencicipi Nasi Uduk Mang Faris di atapnya. Pasti Anda akan merasakan sensasi serta atmosfir yang berbeda sekalipun nasi uduknya dingin karena kelamaan dibalut kabut.
Naskah & foto: adji kembara
(kokirimba@yahoo.com)
Captions:
1. Sebungkus Nasi Uduk Mang Faris.
2. Suasana puncak Gunung Gede yang belakangan
juga menjadi lokasi penduduk berjualan nasi uduk dan membuka lapak “mini
market.
3. Mang Faris, salah seorang pedagang nasi uduk di puncak Gede.
4. Nasi uduk lain di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar